Refleksi 19 tahun AJI Surabaya

Karya: Andi Nurroni
Karya: Andi Nurroni

Tentu saja, setiap kali momen ini hadir tiap tahun, ada kebahagiaan yang membuncah. Setiap kali bertambah umur, selalu ada harapan dan jejak laku yang tertinggal. Hari ini, 6 September 2017, genap 19 tahun Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya ada di tengah hiruk pikuk kota. Tahun berganti, kawan-kawan tetap setia di garis yang dipahami sebagai aras perjuangan.

Sembilan belas tahun berlalu, refleksi tak pernah tuntas. Selalu saja bejibun masalah, tawa dan urat kepala yang muncul. Dinamika, begitu kami menyebutnya. Tidak ada yang salah dengan perbedaan karena itulah dinamikanya. Yang jelas, kami semua masih berkomitmen ber-AJI, berikhtiar menjaga marwah jurnalisme yang terus memudar.

Tak terasa para tetua kami, para pendiri, ini teriak lantang mendeklarasikan organisasi ini sembilan belas tahun lalu. Risiko apapun di hadapi, tantangan apapun dilawan. Sembilan belas tahun berlalu, apakah risiko dan tantangan itu memudar? Tidak. Musuh jurnalisme berubah. Bermetamorfosa. Bukan cuma di luar, tapi menyelinap menusuk di dalam. Musuh jurnalisme kini lakon-lakon industri ini.

Kini AJI Surabaya hidup nomaden. Berpindah tumpangan untuk sekadar berbagi ruang dengan organisasi seide. Tapi saya yakin hal ini tak menyurutkan esensi ke-AJI-an yang jauh melintasi ruang itu sendiri. Salut buat kawan-kawan. Berjibaku dengan masalah-masalah pers yang selalu aneh kalau direnungkan. Mulai dari pengeroyokan terhadap Ghinan Salman, jurnalis Radar Madura oleh PNS di Bangkalan.

Lalu pemutusan hubungan kerja puluhan karyawan SINDO di Jawa Timur. Sampai, kriminalisasi Sugiono, jurnalis Harian Surya. Kasus terakhir memang menggelitik. Sembilan belas tahun keberadaan AJI Surabaya, kasus seperti ini masih saja terjadi. Geram di satu sisis, lucu di sisi lainnya. Sugiono dilaporkan seorang wartawan di Gresik karena pencemaran nama baik melalui UU ITE.

Pelaporan terjadi karena Sugiono yang juga anggota AJI Surabaya, berusaha mencari klarifikasi dan memverifikasi informasi yang dia dapat. Informasi itu berhubungan dengan keluarga wartawan pelapor itu. Polisi yang menerima pengaduan, meningkatkannya menjadi laporan polisi. Kasus pun bergulir.

Bisa dibayangkan, kalau penanganan kasus ini menjadi preseden hukum. Akan ada ribuan jurnalis yang dilaporkan karena pencemaran nama baik melalui UU ITE saat berusaha mengklarifikasi informasi. Dalilnya sederhana, karena informasi itu dikimunikasikan melalui gawai yang terkoneksi dengan internet, maka UU ITE lah yang berbicara. Terus terang, saya tidak pernah mendapati kasus seperti ini. Semua kasus itu masih diadvokasi AJI Surabaya.

Pada akhirnya, tidak ada refleksi yang benar-benar berhenti. Diskursus terus berjalan tanpa henti. Saya berterimakasih kepada kawan-kawan yang masih teguh memegang etika di profesi ini dan di tengah kesibukan bekerja, meluangkan waktu untuk AJI dan dinamikanya. Di AJI-lah kita berkumpul, belajar dan tumbuh bersama. Dirgahayu kawan-kawan…SALUT!

Miftah Faridl
Ketua AJI Surabaya