JAKARTA – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia masih menemukan media cetak, elektronik termasuk televisi dan radio serta online, yang melakukan pelanggaran berupa pengungkapan identitas anak korban kekerasan seksual dan keluarganya.
Media massa sesuai aturan seharusnya menyamarkan identitas korban dan keluarganya dalam bentuk apapun, baik wawancara, foto, tempat tinggal, sekolah, maupun rumah sakit tempat merawat korban.
“Bahkan ada media yang mewawancarai anak korban kejahatan seksual. Ini jelas bertentangan dengan kode etik serta P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran),” ungkap Eko Maryadi, Ketua Umum AJI Indonesia dalam siaran persnya , Rabu (9/1/2013).
Temuan itu, lanjut Eko Maryadi, sesuai dengan penelitian yang dilakukan AJI Indonesia pada Maret-Mei 2012 kepada tujuh surat kabar dan enam televisi. Selama kurung waktu tiga bulan, 442 berita tentang anak di surat kabar dan 396 berita di televisi. Berita kekerasan seksual sebanyak 34 berita di surat kabar dan 14 berita di televisi.
Media, berdasarkan hasil penelitian, masih memuat identitas anak. Nama korban disamarkan, namun nama orangtua atau keluarga masih disebutkan secara lengkap.
Ada juga media yang masih melakukan wawancara dengan anak korban kekerasan seksual. Anak korban kekerasan seksual masih ditanya tentang dimana kejadian dan bagaimana kejadian itu berlangsung.
Padahal sangat jelas dalam P3SPS, anak tidak boleh diwawancara terkait sesuatu yang membuatnya trauma. Kasus kekerasan seksual merupakan suatu kejadian yang menimbulkan trauma fisik maupun psikis. Ini menunjukkan perlindungan atas hak anak, masih belum dipenuhi oleh media.
Terkait itu, AJI Indonesia menghimbau agar media harus tunduk pada Kode Etik Jurnalistik, (P3 SPS) 2012 serta Undang-Undang No 13 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Media diharapkan ikut memberikan perlindungan terhadap anak atas pemberitaan. “Jangan sampai media memberitakan namun justru menimbulkan dampak lebih berat kepada korban dan keluarganya,” pungkas Eko.