Syofiardi Bachyuljb, Majelis Etik AJI Indonesia
Senyum Suwarjono terlihat lebar. Terkandung lega di sana.
“Sukses ya, Bang Syof?” kata Ketua Umum AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Indonesia itu.
“Sangat sukses sekali…” jawab saya sengaja menambah kata yang tak efektif untuk melegakan hatinya.
Suwarjono pantas saya berikan hiburan laporan yang mengurangi bebannya. Kenapa tidak, sebentar lagi ia akan menghadapi acara yang besar: Malam Resepsi 23 Tahun AJI di Aryaduta, Jakarta, 7 Agustus.
Tetapi setelah saya menyaksikan acara resepsi itu, semuanya berjalan sempurna. Acaranya luar biasa. Tak ada basa-basi yang tak perlu. Pemerintah yang berkuasa dikritik. Para intoleran dikritik. Orang-orang yang menerima pengghargaan adalah orang-orang biasa yang pantas. Menteri hadir tanpa berpidato. Karlina Leksono Supelli tampil memukau dengan kata-kata bercahaya.
Suwarjono gembira karena acara kami, “Pertemuan Nasional Majelis Etik AJI” yang berlangsung dua hari di Hotel Ibis Senen, 5-7 Agustus silam berlangsung lancar. “Singa-singa kota” seperti Insany Syahbarwaty, Abdi Purmono, Maimun Saleh, dan Ochan Sangadji yang dikhawatirkan bisa menimbulkan kerepotan, ternyata memperkuat misi.
Misi itu adalah menyempurnakan draf “Kode Perilaku Anggota AJI”. Draf ini mesti segera dibawa ke Kongres AJI X di Surakarta, 24-25 November 2017 untuk disahkan. Kalau drafnya nggak rampung, apa yang akan dibahas dan disahkan?
Apalagi draf Kode Perilaku ini sudah memasuki draf kedua. Draf pertama telah melewati lima Focus Group Discussion (FGD) wilayah (region), Sumatera, Jakarta-Jabar-Kalbar, Jateng-Jatim-Kaltim, Sulawesi-Maluku, dan Bali-Nusa Tenggara-Papua.
Terakhir FGD tingkat Nasional di Pekanbaru. Hasilnya banyak bagian draf yang tidak disepakati dan akhirnya ditulis ulang.
Terlepas dari agenda draf Kode Perilaku, “Pertemuan Nasional Majelis Etik AJI” sendiri adalah tonggak sejarah bagi AJI. AJI sudah berusia 23 tahun sejak dideklarasikan oleh Goenawan Mohamad dkk pada 7 Agustus 1994. Kini AJI memiliki 37 AJI kota.
Pengurus AJI Indonesia (nasional) dilengkapi Majelis Etik (5 anggota). AJI-AJI kota juga memiliki perangkat Majelis Etik (tiap kota 3 orang). Tugas Majelis Etik adalah mengawasi dan menangani kasus etik profesi anggota sebagai jurnalis yang kini jumlahnya hampir 2.000.
Tapi uniknya Majelis Etik tak lebih hanya sebagai pelengkap tanpa kegiatan. Meski ada juga berfungsi ketika ada kasus, itupun satu-dua.
Jadi pertemuan di Ibis Senen dua minggu lalu itu adalah sejarah, karena pertama kali ada pertemuan khusus untuk majelis etik AJI. Acaranya tingkat nasional lagi yang bisa menghadirkan hampir semua wakil majelis etik AJI kota, meski hanya satu orang per kota.
*
Pertemuan ME di Ibis Senen telah melahirkan satu langkah pemahaman bahwa ME AJI-AJI kota dan ME AJI Indonesia harus bisa bekerja efektif melakukan pengawasan dan penegakan etik anggota AJI sehari-hari.
Ada dua instrumennya yang sedang dalam proses penyempurnaan. Pertama adalah Standar Operasional Prosedur (SOP) Pengawasan dan Penanganan Kasus Pelanggaran Kode Etik Anggota AJI. Ini sudah dijadikan aturan dan pertemuan telah menghasilan masukan berharga untuk perbaikan.
Kedua adalah draf Kode Perilaku. Kode Perilaku akan dijadikan rujukan etika dan perilaku bersama Kode Etik Anggota AJI.
Kode Perilaku telah dirancang untuk bisa memperlihatkan seperti apa sosok jurnalis AJI yang selama ini mengkampanyekan dirinya sebagai “jurnalis independen”, “memperjuangkan kebenaran melalui karya jurnalistik”, “menjaga kebebasan pers”, “menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi”, “toleransi”, dan “memmberikan perhatian lebih kepada isu ketidakadilan, dsb”.
“Wartawan Indonesia juga butuh Kode Perilaku, kalau bisa AJI melahirkan Kode Perilaku yang bisa kita pakai secara umum, nanti tinggal kita bahas dan sahkan di Dewan Pers,” kata Ketua Dewan Pers Stanley Adi Prasetyo saat hadir memberikan pandangan tentang sinergi penegakan etik antara Majelis Etik di organisasi wartawan dengan Dewan Pers di awal pertemuan.
Tawaran Stanley sangat menantang. Tapi selama dua hari pertemuan, kami masih fokus melahirkan Kode Perilaku untuk anggota AJI.
Mulai periode ini hingga ke depan, AJI akan fokus memfungsikan lembaga ME (Majelis Etik). Namun tentu saja kehadirannya tidak ingin menambah tekanan, mungkin derita, kepada jurnalis anggota AJI. Kita tahu kondisi pers di Indonesia akhir-akhir ini memasuki masa pancaroba, panas-dingin, yang berdampak pada kesejahteraan jurnalis. Media cetak mulai berguguran dan media online lebih banyak mencari arah bisnis.
Ignatius Haryanto yang juga ME AJI Jakarta membahas kondisi ini dalam satu sesi. Kondisi pers kini, sedikit-banyak, berdampak pada penerapan etika jurnalis.
Tapi, kami optimistis dalam kondisi apapun jurnalis harus melakukan praktek sesuai etika. Jurnalis telah diberikan kewenangan secara hukum untuk menggunakan kebebasan mencari dan menyampaikan informasi kepada publik. Dan publik harus mendapatkan jaminan bahwa kebebasan itu digunakan sesuai etika.
Mudah-mudahan ini langkah yang baik.