Nilai Ambang Batas Amonia Bahayakan Pekerja

Ilustrasi
Ilustrasi

SURABAYA, Nilai ambang batas (NAB) kadar amonia di lingkungan kerja yang ditetapkan pemerintah melalui SE Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) 3/2011 sebesar 25 ppm atau 17 mg/m3 ternyata jauh dari angka ideal.

Berdasarkan disertasi yang dilakukan Dr Abdul Rohim Tualeka diperoleh batas aman konsentrasi gas Amonia di lingkungan kerja sebesar Rp 0,0171 mg/m3 atau 0,025 ppm. Itu artinya,  NAB yang ditetapkan Menakertrans 1000 kali lebih besar dari NAB Amonia yang didapat penelitian ini.

“Dengan menggunakan metode risk assesment secara kuantitatif, bila pekerja terpapar amonia rata-rata 25 ppm , maka durasi aman pekerja hanya 3,69 tahun, setelah itu mereka akan sakit,” terang Rohim saat ditemui di sela-sela wisuda program doktor di Universitas Airlangga, Surabaya, Selasa (26/3/2013) seperti dikutip surya.co.id.

Hasil penelitian ini diperkuat dengan penelitian Hutabarat yang menemukan banyaknya keluhan pada pekerja seperti tenggorokan kering, jalan pernafasan kering, mata perih, iritasi hidung, batuk dan pingsan akibat penetapan NAB yang jauh dari angka ideal.

Dengan kenyataan ini, Rohim berharap penelitiannya bisa menjadi bahan pertimbangan pemerintah untuk meninjau kembali NAB Amonia yang sesuai.

“Pemerintah seharusnya dalam menentukan NAB bahan-bahan kimia seperti amonia menggunakan uji toksikologi diawali dengan uji toksisitas pada hewan seperti tikus. Setelah itu diekstrapolasi pada manusia untuk ditentukan NAB bahan tersebut pada pekerja,” kata Rohim.

Diakui rohim, selama ini dalam penentuan NAB bahan-bahan kimia pemerintah hanya mengadopsi NAB bahan-bahan kimia yang dikeluarkan lembag-lembaga lain dari luar negeri seperti dari Amerika Serikat. “Padahal, berat badan rata-rata orang Indonesia berbeda dengan berat badan orang Amerika. Dan semakin besar berat badan maka NAB bahan kimia semakin besar. Jadi, untuk amonian seharusnya Indonesia lebih kecil dari NAB di Amerika serikat,” katanya.

Hasil penelitian ambang batas amonia ini telah mengantarkan dia sebagai lulusan terbaik dengan predikat cumlaude pada program doktor Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM), Unair. Rohim yang juga dosen FKM lulus dengan IPK 3,88 dan dicapai dalam kurun waktu dua tahun dua bulan.

Waktu pendidikan ini tergolong langka karena rekor sebelumnya program doktor FKM ditempuh selama tiga tahun.
Hasil penelitian ini rencananya akan dipaparkan ke kongres internasional toksikologi di Korea, Juni 2013 mendatang. Dia berharap hasil penelitian ini menjadi acuan penetapan NAB amonia secara internasional.
sumber SURYA Online