Apa yang diinginkan sebenarnya oleh kawan-kawan saya di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dengan mengutak-atik lagi penetapan Hari Pers nasional atau HPN? Sudah dititahkan oleh Presiden Republik Indonesia ke-2, Haji Muhammad Soeharto, bahwasannya 9 Februari atau lima hari sebelum Hari Valentine sebagai Hari Pers Nasional.
Pak Harto sudah teken keputusan itu. Tanda tangan Pak Harto dibubuhkan di Surat keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985. Keputusan Pak Harto itu merupakan daripada usulan Harmoko, Menteri Penerangan sekaligus mantan wartawan, sekaligus pula mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesi atau PWI. Dan, 9 Februari itu memang hari lahirnya PWI, tepatnya di tahun 1946.
Tentu saja gerakan dari AJI dan IJTI untuk mengubah HPN membuat ‘saudara tua’ mencak-mencak. Menurut PWI, HPN 9 Februari harga mati. Mirip tentara lihat NKRI harga mati. Tidak bisa ditawar-tawar. Banyak yang murka, marah dan geram. Bahkan membuat mosi tidak percaya kepada Dewan Pers. Gerakan merevisi HPN ini seperti menguji kesabaran anggota-anggota PWI. Padahal, mereka selama ini sudah bersabar lho.
Kesabaran mereka terlihat sejak Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers lahir. Dahulu kala, Harmoko sudah membuat Peraturan Menteri Penerangan Nomor 2 Tahun 1984 yang menyatakan PWI organisasi profesi satu-satunya bagi wartawan yang diakui pemerintah. Nah, UU Pers ini lantas menganulir keputusan itu. Organisasi profesi wartawan pun bukan menjadi monopoli PWI belaka.
Kesabaran itu lain juga sering saya lihat. Sangat sabar bahkan. Ketika jurnalis dijebloskan penjara oleh Orde baru, berbagai media dibredel di era yang sama, mereka sabar menyaksikannya. Ketika mereka yang dipecat dari kantor medianya dan kesulitan mendapatkan pekerjaan karena kritis terhadap rezim, mereka pun sangat sabar. Tidak ada gejolak.
Ketika ada jurnalis dihajar polisi, tentara, dikeroyok aparat sipil negara, mereka sabar. Tidak bereaksi apalagi konfrontasi. Begitu juga ketika, aparat merampas kamera jurnalis dan menghapus karya-karya jurnalistiknya, mereka juga sabar. Tidak terpancing untuk marah-marah apalagi bersikap galak.
Kita saja harus berjibaku dengan polisi, kepanasan berdemonstrasi. Harus mengalami intimidasi dan lain sebagainya. Apa mungkin karena kita kurang sabar saja melihat sebuah peristiwa. Saat jurnalis dikriminalisasi dengan UU ITE, mereka juga woles. Kesabaran mereka bak tak terbatas. Berbagai pemutusan hubungan kerja atau PHK yang membelit jurnalis juga disikapi dengan kesabaran yang luar biasa.
Sekali lagi, kesabaran memang mereka punyai. Luar biasa. Lalu, berbagai pelanggaran etika profesi juga disikapi dengan adem, ayem dan tentu saja sabar. Ada banyak hal lah yang sulit saya jelaskan semua. Ketika masyarakat kehilangan haknya karena penyelewengan frekuensi publik, mereka juga tidak teriak-teriak apalagi menghujat.
Gejolak, berdarah-darahnya jurnalis di lapangan sampai dipecat dan berbagai pelanggaran etika itu terjadi, mereka masih berusaha menghibur kita semua. Berbagai acara digelar, misal nih lomba adu suara merdu lewat karaoke, biliar, dll. Tujuanya mulia, biar saraf kita tidak tegang dalam berpikir sehari-hari. Menjadi wartawan tentu harus diasah kemampuan suara dan sodokan bolanya. Jangan mikir advokasi melulu, sumpek!
Yang terbaru, ketika HPN lalu, Margiono yang saat itu masih menjabat sebagai Ketua PWI, mengajak orang agar memberikan suara kepada Joko Widodo di Pilpres mendatang, mereka dengan kesabarannya juga memilih diam. Jangan gaduh, tetap woles. Saya melihat betapa sabarnya mereka. Sekali lagi, luar biasa tanpa batas.
Muncul pertanyaan, bagaimana ya bisa mencapai ilmu kesabaran setinggi itu? Di saat kesabaran itu mereka perlihatkan selama bertahun-tahun, sekonyong-konyong AJI dan IJTI ingin mengubah HPN yang sudah diberikan Harmoko dan daripada Soeharto sesuai milad PWI. Ubah HPN? Yang kau lakukan itu jahat!
Tentu kesabaran kawan-kawan PWI membuncah. Ini tidak adil menurut mereka karena kesabaran mereka sudah terlampau sangat. Di situ kadang saya merasa sedih. Plis, jangan lagi singgung soal soal hasil workshop yang mengundang sejahrawan Asvi Marwan Adam, Suryadi (peneliti dari Universitas Leiden) dan penulis buku 100 Tahun Jejak Pers Indonesia, Taufik Rehzen pada 2010 lalu.
Saya tidak sampai hati mengatakkan, kalau 9 Februari tidak layak disematkan sebagai HPN. Jangankan hasil workshop itu, ngomong alternatif tanggal HPN saja saya tak sampai hati. Misalnya nih, 7 Desember merujuk wafatnya Tirto Adi Soerjo (pendiri Medan Prijaji) atau 23 September, tanggal berlakunya UU Pers sebagai momen kemerdekaan pers yang dirampas rezim. Aduh bagaimana mengatakan ini semua di tengah mereka yang hilang kesabarannya?
Pada akhirnya, saya cuma ingin katakan, sudah waktunya Hari Pers Nasional diubah karena kami sudah cukup sabar berjuang agar pers kembali ke marwahnya!
Miftah Faridl
Ketua AJI Surabaya