Salam Independen!
Semoga kawan-kawan diberi kesehatan agar bisa terus beraktivitas.
Pelaporan dua jurnalis ke kepolisian, yakni Dandhy Dwi Laksnono dan Sugiono alias Sugik menjadi preseden buruk bagi keberlangsungan pers dan kebebasan berekspresi kita. Pelaporan terhadap Dandhy, jurnalis sekaligus film maker menunjukkan, pelapor gagal paham mana ujaran kebencian dan mana kritik berbasis fakta.
Begitu pula dengan pelaporan Sugiyono atau Sugik ke Polres Gresik. Kontributor Harian Surya itu dilaporkan dengan tuduhan pencemaran nama baik yang termaktub dalam dalam Pasal 45 ayat (3) Jo pasal 27 ayat (3) UU RI No. 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Sugik dilaporkan saat dia menjalankan tugas sebagai jurnalis.
AJI Surabaya menyayangkan pelapor juga seorang wartawan. Inilah yang membuat AJI Surabaya menilai, tidak semua wartawan memahami hak dan kewajiban dari profesi ini. Dalam hal sengketa pers, seharusnya diselesaikan melalui jalur Dewan Pers. Bahkan kalau kemudian polisi menangani kasus sengketa pers, ada nota kesepahaman antara Polri dengan Dewan Pers.
AJI Surabaya menilai, pelaporan terhadap Sugik ke Polres Gresik (Nomor: LP/160/V2017/JATIM/RES GRESIK) pada 31 Mei 2017, merupakan bentuk kriminalisasi jurnalis. Pelapor menganggap Sugik mengedarkan pesan berisi hal yang dianggap ‘pencemaran nama baik’. Padahal, pesan itu berisi informasi yang Sugik verifikasi dengan meminta klarifikasi dari pihak yang relevan dan berkompeten termasuk ke polisi.
Karena pesan itu dikirim dengan sarana komunikasi berbasis internet, penyidik menyematkan UU ITE dalam kasus ini. Sesederhana itu. Sebagai contoh, wartawan A mengirim pesan soal informasi ada untuk mengkarifikasinya kepada orang yang berkompeten. Lantas pesan itu disebar di luar jangkauan A, maka saya pun akan dilaporkan ke polisi.
Kalau nalar ini dibenarkan, akan ada banyak jurnalis yang dilaporkan polisi dan dikirminalisasi. Apalagi Sugik mengirim pesan itu untuk mengklarifikasi sekaligus usaha verifikasi informasi yang dia terima. Begitu informasi itu tidak benar, Sugik pun tidak meneruskan prosesnya. Dia tidak menyajikan dalam bentuk berita. Sugik juga mendapatkan perintah dari kantornya bekerja untuk mem-follow up informasi itu.
Pada 18 September 2017, AJI Surabaya bersama perwakilan Komunitas Wartawan Gresik (KWG) mendatangi Polres Gresik dan diterima penyidik yang menangani kasus ini, Iptu Agung Joko Kepala Unit Tindak Pidana Tertentu (Tipiter). Penyidik tegas menyatakan, sampai saat ini penyidik meyakini penerapan UU ITE dalam kasus ini sudah tepat.
Penyidik tidak melihat, proses yang dilakukan Sugik sebagai kerja jurnalistik sesuai Pasal 1 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yakni mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi sesuai kode etik jurnalistik. Dalam melakukan kerja jurnalistiknya itu, Sugik juga dilindungi hukum sesuai Pasal 8 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dan setiap sengketa pers, harus diselesaikan melalui jalur Dewan Pers.
AJI Surabaya pada 5 September 2017 sudah melayangkan pengaduan ke Dewan Pers untuk melakukan upaya yang sesuai kewenangan Dewan Pers yang diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Upaya advokasi litigasi dan non litigas AJI Surabaya ini adalah bentuk tanggung jawab untuk meletakkan hak dan kewajiban semua pihak dalam kasus sengketa jurnalistik sesuai UU.
Sekali lagi, ini bukan soal Sugik atau AJI Surabaya semata. Ini soal nasib semua jurnalis atau wartawan di Indonesia. AJI Surabaya melihat ini persoalan bersama semua orang yang mendedikasikan hidupnya melalui jalur jurnalisme. Kasus Sugik menjadi pintu masuk sekaligus jawaban dari pertanyaan, apakah pers kita saat ini waras atau sakit!
AJI Surabaya menolak segala bentuk pengekangan atas kebebasan berkekspresi dan kriminalisasi jurnalis! AJI Surabaya minta Dewan Pers agar turun tangan dalam kasus Sugik.
Terima kasih, Salam Independen!!!
Surabaya, 19 September 2017
Miftah Faridl
Ketua AJI Surabaya