SURABAYA – Tiga orang yang mengaku wartawan senior di Surabaya mendeklarasikan dukungan kepada salah satu paslon gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur di sebuah hotel pada Rabu (4/4/2018). Dalam acara tersebut, mereka mengajak para jurnalis bekerja sesuai UU Pers. Namun di sisi lain, deklrasi dukungan yang mereka lakukan malah melanggar UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik itu sendiri.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Miftah Faridl, mengatakan, ulah ketiganya mencederai semangat independensi profesi jurnalis. “Ini ironis. Mereka mengimbau kita agar profesional sesuai UU Pers, lha mereka malah terang-terangan menginjak-injak UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Imbauan itu dibalut modus yang menjijikkan, yaitu dukungan politik ke salah satu pasangan calon dalam pilgub Jawa Timur,” kata Faridl (5/4/2018)
Ia mengungkapkan, ketiga deklarator itu, Tatang Istiawan, Choirul Anam dan Djalil Latuconsina, telah melanggar Surat Edaran Dewan Pers (No 01/ SE-DP/I/2018) tentang Posisi Media dan Imparsialitas Wartawan dalam Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Dalam surat edaran itu jelas dijabarkan batasan-batasan yang harus ditegakkan perusahaan media dan jurnalisnya.
“Ada empat pasal dalam UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers yang mereka tabrak. Plus Pasal 1 dalam Kode Etik Jurnalistik yaitu sikap independen. Ini menunjukkan, umur atau senioritas tidak menjadi ukuran seseorang sebagai wartawan atau jurnalis. Hanya integritas saja yang membedakan mana jurnalis dan mana yang bukan,” ujarnya.
Ia meminta Dewan Pers bersikap terkait deklarasi ini. Apalagi, kalau media dari ketiganya sudah terverifikasi di Dewan Pers. Pasalnya, itu menjadi bukti bila verifikasi tidak efektif membendung prilaku partisan pemiliknya. Evaluasi, menurut Faridl, merupakan tindakan yang harus dilakukan Dewan Pers.
Lebih lanjut, Faridl mengaku tidak kaget di tahun politik seperti saat ini, banyak institusi menggelar diskusi atau seminar bertema menjaga independensi wartawan atau jurnalis. Pengajuan tema itu merupakan bentuk respon masyarakat dalam mempertanyakan komitmen perusahaan media dan jurnalisnya menjaga profesionalistasnya dalam melayani kepentingan publik.
“Ya kalau tingkahnya seperti tiga orang ini, tidak heran kalau masyarakat menganggap jurnalis ini culas dan perlu dipertanyakan komitmennya. AJI menegaskan, menjadi bagian yang bersebrangan dengan siapa saja yang menggerus marwah jurnalisme. Jurnalis itu mengabdi kepada publik, bukan politikus,” tegasnya.
AJI Surabaya juga mencermati prilaku jurnalis lainnya yang melibatkan diri dalam tim bayangan para pasangan calon dalam Pilgub Jatim. Prilaku yang mereka lakukan juga melanggar prinsip-prinsip jurnalisme. Dengan mendukung salah satu pasangan calon, berarti membuang prinsip independensi dan imparsialitas.
Begitu juga dengan mereka yang menerima suap dan gratifkasi atau imbalan. Ia melihat, ada beberapa perusahaan media yang secara diam-diam menjadi bagian dari salah satu paslon. Menurut Faridl, ini sama berbahayanya dengan deklarasi yang dilakukan Tatang, Choirul Anam dan Djalil.
Faridl khawatir, sikap partisan pemilik media massa ini bakal merembet ke jurnalis di perusahaan media itu. “Sikap politik pemilik bakal menjadi hambatan jurnalisnya menjaga prinsip-prinsip jurnalisme. AJI Surabaya siap melakukan advokasi bagi kawan-kawan jurnalis yang menolak tunduk pada perintah pimpinan mereka yang bersifat partisan. Ini ancamam terhadap kebebasan pers,” katanya.
Sebenarnya, ia tidak mempermasalahkan bila ada jurnalis yang ingin terjun di dunia politik, baik sebagai calon maupun tim suksesnya. Syaratnya hanya satu, yakni mundur sebagai jurnalis. Kata Faridl “Beberapa waktu lalu ada anggota AJI Surabaya yang memilih mundur karena pilgub ini. Yang bersangkutan masih berprofesi sebagai wartawan dan membantu paslon. Setelah saya klarifikasi, yang bersangkutan sudah non-aktif sebagai wartawan.”
“Lebih baik mundur sebagai wartawan atau jurnalis sesuai surat edaran Dewan Pers daripada melacurkan profesi. Jangan bawa profesi jurnalis ke gelanggang politik praktis yanh ujung-ujungnya untuk kepentingan pribadi. Marwah jurnalisme digerogoti dan runtuh dari dalam. Ini benar-benar menjijikkan,” imbuh Faridl.