Polres Bangkalan Terapkan UU Pers

PRESS RELEASE

Kuasa hukum Ghinan Salman,Johanes Dipa Widjaja dari LBH Lentera saat diwawancarai oleh sejumlah wartawan Bangkalan.
Kuasa hukum Ghinan Salman,Johanes Dipa Widjaja dari LBH Lentera saat diwawancarai oleh sejumlah wartawan Bangkalan di Polres Bangkalan, 20 Februari 2017.

Penyidik Satreskrim Polres Bangkalan akhirnya menggunakan UU Nomor 40/1999 tentang Pers untuk menangani dugaan pengeroyokan terhadap jurnalis Radar Madura (Jawa Pos Group). Penggunaan UU Pers ini merupakan angin segar bagi kemerdekaan pers di tanah air. Pasalnya, hampir semua kasus kekerasan terhadap jurnalis tidak diselesaikan dengan UU Pers.

Meski begitu, kasus kekerasan ini menjadi bukti masih banyaknya ancaman bagi jurnalis saat menjalankan tugasnya. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Lentera dan Radar Madura mengapresiasi upaya penyidik Polres Bangkalan menangani kasus ini di ranah UU Pers. Tentu ini menjadi preseden (rujukan) bagi kejadian lain di tanah air.

Penganiayaan ini terjadi pada Selasa (20/9) sekitar pukul 09.00 WIB, Ghinan liputan ke Dinas PU Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Bangkalan. Penganiayaan terjadi usai Ghinan memotret beberapa PNS yang bermain tenis meja pada jam kerja. Ghinan sudah mengaku sebagai jurnalis. Pelaku malah semakin marah dan mengancam.

Pada Jumat (11/11), penyidik Polres Bangkalan menegaskan, sudah menetapkan satu tersangka dalam kasus ini. Tersangka bernama Jumali. Penerapan UU Pers ini juga menjadi acuan bagi polisi untuk mengembangkan kasus. Pasalnya, ada pelaku yang melakukan upaya dengan sengaja menghalangi dan menghambat bahkan menganiaya Ghinan Salman saat menjalankan tugasnya.

Dari pengakuan Ghinan di hadapan penyidik, setidaknya ada tujuh pelaku yang secara aktif melakukan upaya melawan hukum dengan sengaja sehingga berakibat menghambat dan menghalangi Ghinan Salman menjalankan tugasnya sebagai jurnalis. Enam nama lain sampai saat ini masih sebatas saksi. Tentu jika merujuk pada Pasal 18 ayat 1 UU Pers, perbuatan enam pelaku lain sudah memenuhi unsur pidana.

Pasal 4 ayat 3 UU Pers berbunyi “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi”. Artinya, segala upaya, misalnya menarik tubuh, mengintmidasi, mencegah dan menghalangi Ghinan Salman saat bertugas menjadi jurnalis adalah pelanggaran pidana.

Unsur pidana pada Pasal 18 Ayat 1 sebagai rujukan pidana bagi Pasal 4 ayat 3 UU Pers, bukan hanya bentuk penganiayaan (fisik) belaka. Kami mendorong polisi agar terus mengembangkan kasus ini kepada pelaku lain yang masuk kategori menghambat dan menghalangi pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

“Tentu kami apresiasi upaya polisi. Namun, kami masih menunggu tersangka lain karena ada sekitar enam orang yang melakukan upaya menghalangi dan menghambat kerja Ghinan sebagai jurnalis,” ujar Salawati Taher didampingi Yohanes Dipa, dari LBH Lentera. Salawati mengingatkan agar penyidik tidak berhenti pada satu tersangka saja. “Kasus ini menjadi contoh bagi penegakan hukum kekerasan terhadap jurnalis di tempat lain,” imbuhnya.

Kami juga mengapresiasi kawan-kawan jurnalis dan media di Kabupaten Bangkalan yang teguh mengawal kasus kekerasan yang dialami Ghinan Salman. Begitu juga kepada Radar Madura sudah berkoordinasi dengan AJI Surabaya dan LBH Lentera untuk aktif mengawal kasus ini, baik pemberitaan maupun perlindungan terhadap Ghinan Salman. Dalam kasus seperti ini, keberpihakan kepada korban memang mutlak dilakukan.

Bersamaan dengan ini, AJI Surabaya juga mengecam keras terjadi kekerasan terhadap empat jurnalis di Surabaya oleh anggota Polrestabes Surabaya. Mereka adalah Hadi (RTV), Dida (Jawa Pos), Andrian (merdeka.com), dan Boncel (SBOTV) saat meliput kericuhan dalam konvoi suporter Bonek pada Kamis (10/11). Keempatnya ditendang, dipukul dan dipentung.

Kekerasan ini juga disertai perampasan kamera, memory card dan dihapusnya file di kamera. AJI Surabaya mengecam keras kasus kekerasan ini dan mendorong para korban untuk membawa kasus ini ke ranah UU Pers. Yang menyesakkan dada, pelaku kekerasan adalah aparat negara dan penagak hukum yang seharusnya memahami kerja jurnalis.

Dua kasus, Ghinan dan yang dialami empat jurnalis di Surbaya menjadi cermin, musuh kebebasan pers adalah aparat negara. Kami berharap Dewan Pers turun ke Jawa Timur untuk melihat langsung bahwa ancaman kepada jurnalis sangatlah tinggi. Tentu ini sangat membahayakan supremasi kemerdekaan berpendapat dan kebebasan pers.

Surabaya, 11 November 2016

Prasto Wardoyo / Ketua