Membiarkan Korban OD Mati Bisa Dipenjara

Surabaya – Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) menegaskan bahwa tindakan membiarkan korban pengguna Napza mengalami “over dosis” (OD) hingga mati bisa dipenjara berkisar 2-5 tahun.

“Memang, kita belum mempunyai data valid kasus OD yang terbaru, namun bukan berarti kasus OD yang berujung kematian di Indonesia itu kecil,” kata staf advokasi PKNI Ferri Zul dalam Lokakarya Tata Laksana Penanganan OD di Surabaya, Kamis.

Sebagai gambaran, kasus OD di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta pada tahun 1999 mencapai 61 kasus.

“Banyak kasus OD pengguna Napza yang berujung pada kematian, karena masyarakat masih awam apa yang harus dilakukan bila menemukan korban over dosis, atau pertolongan medis terlambat karena masyarakat takut berhubungan dengan polisi,” katanya.

Padahal, KUHP sudah mengatur dalam Pasal 304 bahwa barangsiapa yang menempatkan seseorang dalam kondisi sengsara padahal menurut hukum wajib mendapat perawatan medis, justru dapat diancam dengan hukuman penjara dua tahun.

Selain Pasal 304 KUHP itu, warga masyarakat yang tahu ada orang overdosis dan dibiarkan saja, maka dia bisa dijerat dengan Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan kematian dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.

“Karena itu, kita ingin menyosialisasikan aturan itu kepada masyarakat bahwa wajib hukumnya untuk menolong korban OD, sebab kalau ditinggal lari justru bisa dijerat dengan hukum karena melakukan pembiaran hingga menyebabkan kematian,” ujarnya.

Sementara itu, pembicara lain dari Poli Terapi Rumatan Metadon Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya, dr Grace Irawati, menjelaskan jika menemukan korban OD, maka masyarakat awam harus membawa korban sesegera mungkin ke unit gawat darurat di rumah sakit.

“Caranya bisa dengan menghubungi ambulans pada 118 atau mencari kendaraan sendiri untuk segera dibawa ke rumah sakit. Dokter dilarang menolak pasien yang datang berobat. Sekali pun itu korban OD,” katanya.

Namun, jika memang sudah terlatih, maka masyarakat juga bisa melakukan pertolongan pertama standar, misalnya mengecek pernapasan, lalu membebaskan saluran pernapasan dari sumbatan misalnya buih yang keluar dari mulut korban atau bahkan lidah yang tertarik ke belakang kerongkongan.

“Jika tidak napasnya, mungkin bisa dilakukan resusitasi jantung dan paru, namun hal itu butuh keahlian. Sebaiknya, memang segera saja dibawa ke rumah sakit,” katanya.

Ia meminta masyarakat tidak menangani korban OD dengan mempercayai berbagai mitos, seperti dengan meminumkan susu, menyuntikkan cairan garam, menyiram air agar siuman.

“Semuanya tidak benar, justru membahayakan,” katanya, didampingi Direktur Yayasan Orbit, Rudhy Wedhasmara.