Menjadi Jurnalis di Zona Merah Covid-19

Lely Yuana

Salam sehat dan selamat bertugas rekan-rekan jurnalis di zona merah Covid-19. Semoga berkat Tuhan selalu menyertai.

Menjadi jurnalis di red zone Corona bukanlah tantangan. Bukan ujian. Bukan juga pilihan. Namun sebuah tanggung jawab besar mengabarkan segala keresahan masyarakat, duka pasien hingga kebijakan strategis pemerintah.

Seperti sebuah tagline: tak ada berita seharga nyawa. Jurnalis tidak sekedar turun ke lapangan tanpa persiapan. Mental dan fisik bisa digempur habis. Melihat angka-angka kematian, fakta di lapangan hingga membangun optimistisme. Semua kemungkinan bisa terjadi sebab kita dihadapkan pada sebuah fakta resesi global.

Jurnalis harus berjiwa besar tanpa mengabaikan keselamatan diri terlebih menghadapi pandemi Covid-19.

Kadangkala untuk sebuah data, kita tidak bisa berdiam diri menunggu jawaban nara sumber dari sambungan telepon seluler. Seringkali data dan fakta terkini justru kita jumpai di depan mata. Menajamkan telinga dan empati.

Beberapa kali jurnalis melihat imbauan pemerintah. Mulai dari social distancing, berubah menjadi physical distancing, maupun work from home. Tidak benar-benar diimplementasikan oleh rekan jurnalis maupun yang punya hajat. Yaitu pemangku kebijakan hingga redaksi. Undangan untuk press conference tetap bergulir. Blunder.

Suatu ketika anjuran work from home saya terapkan. Dalam lima hari saya berdiam di rumah. Menunggu kabar video conference atau jawaban dari beberapa pertanyaan yang saya titipkan melalui kawan-kawan di lapangan.

Namun ternyata tidak semudah itu. Tidak semua yang ingin saya inginkan bisa terpenuhi. Dan redaksipun pun bertanya mengapa tidak dapat berita itu. Saya menjawab WFH. Cukup singkat dan dimengerti. Namun pertanyaan seperti itu juga membuat saya berpikir lagi. Beban lagi. Kita harus di rumah atau tidak?

Tidak butuh waktu lama, sebagai jurnalis yunior yang taat pada setiap tugas kantor, saya mulai turun ke lapangan. Dengan berbagai persiapan termasuk dukungan penuh alat kesehatan dari AJI, organisasi tempat saya bernaung. Terimakasih.

Memakai alat pelindung diri sesuai standar organisasi kesehatan dunia. Masker, hand sanitizer hingga gloves. Ada yang saya dapat dari hunting sejak Januari saat Corona terdeteksi di Wuhan. Juga ada pemberian dari kantor pusat. Serta tidak lupa cukup dapat data lalu pulang.

Namun apakah nasib para jurnalis lain seperti yang saya alami. Pertama, terpenuhinya kebutuhan akan data. Kedua, terpenuhinya perlengkapan keselamatan.

Jurnalis tanpa dibekali pengetahuan tentang safety di lapangan akan sangat rentan. Sebab mereka berhadapan langsung dengan tokoh lintas sektor. Bahkan beberapa kini ditetapkan sebagai kluster penyebaran Covid-19.

Kabar duka juga menyapa beberapa rekan pewarta di Jakarta dan Surabaya. Lantas siapa yang bertanggung jawab untuk ini sebelum banyak pewarta berjatuhan?

Pertama tentu diri kita sendiri. Kesadaran pentingnya keselamatan di atas segalanya. Kedua, peran pemerintah untuk mengubah gaya presscon. Dan ketiga, kesadaran penuh redaksi.

Gianni Merlo, jurnalis olahraga dari Daily Nation pun menjadi salah satu pewarta yang harus berjuang mengabarkan saat Corona melanda.

My Life as a Sport Journalist in Italys Covid-19 Red Zone yang tayang pada Jumat (20/3/2020) adalah kisah nyata kepatuhan akan perjuangan melawan pandemi.

“Sungguh saya mengatakan ini. Dalam hatiku, saya ingin melanjutkan mimpi saya ke Olympic di Tokyo sesuai rencana. Namun semua berubah karena semua telah dibatasi oleh virus Corona.

Saya sekarang hidup dalam zona merah. Hidup kami sangat terbatas. Hanya tinggal di rumah. Dari lantai lima, saya melihat serta mendengar raungan ambulans tiap hari. Di Vivegano, kota dengan jumlah penduduk 60 ribu jiwa. 30 kilometer dari Milan. Sirine ambulans seperti mengantarkan mimpi buruk dan pesan menakutkan.

Kematian meningkat dari hari ke hari. Lebih buruk daripada perang. Kira-kira butuh waktu tiga bulan untuk menurunkan angka suspek dan membuat keadaan normal kembali di Itali.”

Presiden Internasional Asosiasi Pewarta Olahraga tersebut berkeluh jika masyarakat dunia akan membayar mahal tragedi ini. Dan sebuah derita bagi pekan olahraga maupun para pewarta.

“Saya hidup di zona merah. Saya takut jika musim panas tahun depan tanpa Olimpiade.”

Teman-temanku, tidak hanya di Indonesia saja. Banyak jurnalis di berbagai belahan negara lain mematuhi aturan global untuk memutus rantai penyebaran Covid-19.

Indonesia masih diuntungkan (Indonesia selalu merasa beruntung) dengan kebijakan paling parah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).  Itupun tidak setiap kota bisa mengajukan. Harus memenuhi persyaratan detail. Hingga kita masih bisa bebas namun terbatas.

Sungguh, sayangi jiwa-jiwa kita yang akan mengabarkan sejarah terbaik perubahan dan kebangkitan pasca Corona di negeri ini. Masa depan masih panjang. Perjuangan belum berakhir. Akan banyak fakta bisa kita ungkap kelak jika kita tetap sehat.

Tetap jaga keselamatan, jika tidak memungkinkan WFH, ada baiknya meminta redaksi memenuhi kelengkapan keselamatan diri. Atau terapkan saran senior saya Ketua AJI Surabaya, lima hari libur dua hari kerja. Atau satu hari libur satu hari kerja. Jaga jarak, jangan berjabat tangan, dan sering cuci tangan Penuhi kebutuhan gizi dengan banyak makan sayur dan buah karena kelangkaan vitamin. Tetap optimistis. Salam sehat!

Post Comment