Beberapa hari lalu, saya mendapatkan screen capture sebuah pesan pendek melalui aplikasi WhatsApp. Isinya, pemberitahuan adanya sebuah program khusus di televisi berita berisi perjalanan seorang ketua partai yang berafiliasi dengan penguasa saat ini. Bisa ditebak tanpa harus mengatakan siapa, pendiri sekaligus pemilik partai itu merupakan bos televisi itu sendiri.
Judulnya kurang lebih, meraih kemenangan rakyat. Begitu yang ditulis. Tidak sulit menebak, isi dari tayangan itu selain mengulas sepak terjang si bos dan partainya, sekaligus juga keberhasilan pemerintah saat ini. Minggu sebelumnya, anak si pemilik media yang memanfaatkan frekuensi publik untuk umbar retorika pepes kosong.
Saya tentu tidak berdaya ketika dijejali tayangan macam itu. Ganti saluran televisi lain, tapi hampir semuanya sama. Promosi pemilik televisi lainnya yang juga jadi pemilik partai. Sungguh tak berdaya. Mereka lupa atau tidak mau tahu, frekuensi itu milik publik, bukan milik mereka, partai apalagi pemerintah. Media massa kita dipenuhi gimik. Palsu.
Di lain waktu, saya mendapatkan pesan lewat WhatsApp juga. Kali ini isinya, seorang jurnalis pers mahasiswa dikeroyok polisi. Karya jurnalistiknya berupa foto dihapus polisi. Ia diintimidasi, bahkan ditonjok aparat negara itu. Kekerasan itu terjadi tatkala ia sedang meliput aksi demonstrasi warga di Bandung yang menolak penggusuran.
Penggusuran atas nama infrastruktur atau pembangunan, terjadi di banyak tempat. Petani di Kendeng yang menolak pabrik semen, penolakan reklamasi di Jakarta dan Bali sampai warga di Temon, Kulon Progo yang menentang perampasan tanah mereka dampak dari pembangunan bandara baru Yogyakarta. Begitu juga dengan berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua, Kalimantan dan berbagai daerah lain.
Lalu, masih adakah tempat di media massa kita berbagai cerita derita mereka yang alami ketidakadilan? Paragraf awal dalam tulisan ini bisa menjadi ilustrasi jawaban. Tentu Anda tidak akan melihat semua derita itu di media massa yang empunya, sekaligus pemilik partai plus berafiliasi dengan penguasa. Jurnalisme mati sejak di kandungan. Jadi jangan bicara dulu soal advokasi. Fiksi itu!
Aboeprijadi Santoso, jurnalis senior, mengkririk pers di Indonesia yang tidak juga mau menciptakan sendiri ‘angin’ sebagai gelombang pembelaan terhadap HAM. Penulis buku “Jejak-jejak Darah: Tragedi dan Pengkhianatan di Timor Timur” itu melihat, gelombang pembelaan terhadap HAM di Indonesia terdorong ‘angin’ dari peristiwa di Eropa. Dorongan itu menjadi angin segar gerakan pembelaan HAM di tanah air.
“Keberpihakan kepada HAM (membuncah) ketika 1990-an. Ada Tembok Berlin roboh, Uni Soviet runtuh, gerakan di Irlandia Utara, dan lain-lain. Angin itu sampai juga ke Indonesia. Masalahnya, isu HAM tidak lagi menjadi arus utama gerakan di Eropa. Eropa sedang dijangkiti Islamophobia. Dan itu berdampak pada Indonesia,” ujar mantan jurnalis Radio Natherlands.
Begitu Bung Tossi, sapaan akrabnya, membuka diskusi bertajuk ‘Jurnalisme dan Pembelaan HAM’ yang digagas HRLS FH Unair dan AJI Surabaya, 16 April 2018. Saya setuju dengan ucapan itu. Indonesia harus menciptakan ‘angin’ pembelaan terhadap HAM sendiri, termasuk mengembalikan marwah jurnalisme. Esensi jurnalisme sedari awal dikenal adalah pembelaan terhadap mereka yang ditindas. Industri-lah yang kemudian menjauhkan marwah jurnalisme dari ‘tuannya’ yakni rakyat.
Herlambang Wiratraman, dari HRLS FH Unair memiliki catatan merah terhadap pers tanah air. Kedangkalan dalam jurnalis membuat korban kembali menjadi korban. Korban dipojokkan. Ia mencotohkan, peliputan kasus penembakan beberapa petani di Alas Tlogo, Pasuruan pada 2007 silam. Tidak banyak jurnalis yang berani mewartakan pelanggaran HAM itu sesuai fakta.
Para pendiri bangsa ini, banyak yang mengawali pergerakannya dengan menjadi jurnalis. Mengapa? Karena jurnalisme-lah yang memungkinkan mereka membuat suara rakyat yang dijajah terdengar dan memiliki resonansi. Menjadi corong bagi mereka yang voice of voiceless. Jurnalisme menjadi alat perjuangan semesta. Berbeda dengan kondisi hari ini. Jurnalisme menjadi alat kepentingan pemilik, partai dan penguasa.
Jurnalisme menjadi bias. Bahkan saking biasnya, kita kesulitan memisahkan mana kerja-kerja jurnalisme, mana kerja-kerja kehumasan. Tentu kehumasan pemerintah, partai sampai kepentingan modal. Media massa menjadi corong entitas yang secara historisitas, menjauhkannya dari rakyat atau publik.
Tidak heran, banyak yang pesimis dengan genre jurnalisme advokasi bisa kembali semerbak. Jurnalis mengamini narasi tunggal sebagai kebenaran. Mengiyakan, semua ucapan otoritas penguasa tanpa membenturkannya dengan fakta. Kemalasan tingkat dewa. Banyak kasus pelanggaran HAM yang tak terungkap karena sifat dan sikap jurnalis yang cuma bisa ‘tadah ludah’ narasumber.
Tentu HAM itu tidak bebas nilai. Tentu ada penafsiran yang dominan, ada praktik standar ganda. Kita tidak sedang berdebat soal itu. Kita sedang membahas kemanusiaan. Kemanusiaan menembus dan menghancurkan sekat-sekat identitas, kepercayaan, suku bahkan pandangan politik. Adil sejak dalam pikiran. Artinya, sulit kalau jurnalisme advokasi disandarkan pada media arus utama.
Meski begitu, saya optimis masih ada ruang. Ada celah untuk memasukkan jurnalisme advokasi di ruas-ruas gir industri media. Tidak semua bisnis industri media tutup mata dengan kepentingan publik, meski mereka hanya segelintir. Solusi lain, tentu saja mensemestakan literasi sekaligus memprovokasi jurnalis warga, termasuk pers mahasiswa. Dari merekalah, kita berharap kejujuran fakta bisa telanjang kita lihat. Sudah banyak contoh!
Ini soal prespektif, tentu prespektif kemanusiaan.