Persoalan kebebasan artistik di Indonesia tak sepenuhnya terselesaikan meski rezim represif telah berakhir, demikian disampaikan oleh Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan RI dalam salah satu sesi diskusi di acara World Press Freedom Day yang diselenggarakan di Jakarta Convention Center, 4 Mei 2017. Hari kebebasan pers dunia tahun 2017 ini dipusatkan oleh UNESCO di Jakarta.
Pada awal memaparkan pandangannya, Hilmar Farid menyinggung penyair Wiji Tukul yang dalam kebebasan kreatifnya berhadapan dengan penguasa yang tak memberikan ruang yang lega. Namun ketika ruang kebebasan artistik itu terbuka seiring dengan bergulirnya era reformasi, ada persoalan yang masih belum bisa diatasi yakni soal keberlangsungan dan kesejahteraan bagi pekerja seni atau kebudayaan.
Hilmar mengakui, bahwa perhatian kepada para pekerja seni atau kebudayaan dirasa masih belum memadai. Ketidakmemadaian perhatian ini kemudian ditambah oleh kurangnya pengarsipan atau pendokumentasian secara individual. Pengarsipan atau pendokumentasian ini sangat penting karena terkait dengan hak cipta. Untuk itu ke depannya akan disodorkan rancangan undang-undang yang berpijak pada konsep perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan budaya.
Dalam diskusi yang digelar pada hari ke-4 dengan tema Ensuring artistic freedom : a public policy challenge, selain Hilmar Farid hadir sebagai pembicara Farida Shaheed mantan pelapor khusus PBB tentang hak budaya, Anupama Sekhar Direktur Departemen Kebudayaan ASEF, dan Khadija El Bennaoui penasihat seni dan penasihat kebudayaan, gerakan seni Afrika (Prasto Wardoyo).