Awasi Dana Desa, FH Unair Dorong Desa Anti Korupsi

32484

Kucuran anggaran untuk desa dari pemerintah di tahun anggaran 2016, sejumlah Rp.4,7 Triliun. Angka sebesar ini sangat rawan korupsi dan ketidaktepatan sasaran, apabila tidak ada kawalan dan pengawasan oleh masyarakat desa sendiri. Termasuk juga potensi penyelewengan program pemerintah Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA), dan program bantuan pemerintah yang lain. Desa, seharusnya menjadi ujung tombak perlindungan dan pemenuhan kesejahteraan sosial, serta menjadi institusi kolektif untuk pemberantasan kemiskinan sosial ekonomi. Hal ini disampaikan oleh akademisi hukum pidana korupsi dari Universitas Airlangga Surabaya (Unair), Iqbal Fe lisiano, dalam sebuah diskusi publik yang bertajuk “Kesejahteraan Sosial, Merancang Desa Pergerakan Anti Korupsi”, di Gedung Pusat Studi Fakultas Hukum Unair.

“Penindakan kasus pelanggaran hukum dan tipikor di desa-desa, masih dirasa kurang tegas terhadap aparatur negara di desa setempat, untuk jeratan hukumnya secara adil. Masyarakat harus mewaspadai tipe-tipe potensi aparat desa yang korup. Antara lain oknum pemimpin inkumben, oknum yang murni berorientasi bisnis, ambisius, dan berasal dari kelompok politik tertentu,” papar Iqbal dalam presentasinya, Kamis siang (21/07/2015).

Senada dengan Iqbal Felisiano, pemateri dari Malang Corruption Watch (MCW), Zainuddin, mengungkapkan diperlukannya antisipasi jangka panjang gerakan masyarakat desa anti korupsi, mengingat kucuran dana desa tahun depan rencananya naik menjadi sekitar Rp.7,8 Triliun. Belum lagi adanya investor yang diam-diam sudah menguasai sejumlah tanah di desa.

“Salah satunya, masyarakat desa perlu membentuk kelompok independen yang terorganisir, dalam upaya mengawal dan mengawasi kucuran dana desa. Dana desa dan program bantuan lain pemerintah adalah untuk kesejahteraan masyarakat setempat, bukan untuk dimonopoli oleh orang-orang tertentu”, ujar Zainuddin, Koordinator MCW.

Dalam diskusi ini juga menghadirkan Aris Karbiono, Koordinator Paguyuban Petani Mandiri (PPM) Blitar. Aris mencontohkan di dusun Gambar Anyar, desa Sumberasri, kecamatan Nglegok, kabupaten Blitar, pengurusan sertifikat yang seharusnya gratis pada program PRONA, diselewengkan untuk membiayai kegiatan tasyakuran reklaim dan lain-lain, dengan cara menjual tanah fasum desa.

“Putusan memang sudah turun, tetapi yang didakwa adalah orang biasa. Sementara oknum aparatur negara yang diduga ikut bermain, luput dari jeratan hukum. Apalagi dua terdakwa kasus sengketa fasum desa di dusun Gambar Anyar hanya tersangkut pidana biasa saja, bukan tindak pidana korupsi”, tandas Aris.

Upaya pengawalan masyarakat terhadap potensi korupsi di desa setempat, kata Aris, sebenarnya sudah dimulai. “Walaupun beberapa warga juga tidak luput dari upaya intimidasi dari oknum-oknum tertentu”, ungkap Aris.
Diskusi publik yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum dan HAM Unair dan MCW ini diikuti oleh hampir 100 orang. Peserta diskusi publik terdiri dari akademisi hukum, aktivis HAM, mahasiswa, pers, dan masyarakat.