Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya melayangkan surat seruan kepada pasangan calon (paslon) kontestan pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surabaya agar tidak menyeret jurnalis dan pers ke ranah politik kepentingan mereka. Seruan ini sekaligus sebagai pernyataan sikap pentingnya independensi jurnalis di era rezim pilkada.
Ketua AJI Surabaya, Prasto Wardoyo mengatakan, seruan ini ditujukan kepada paslon plus tim suksesnya, KPU, Panwaslu Surabaya sampai Dewan Pers. “Kami mendesak agar rekan-rekan paslon dan tim yang terlibat dalam gelaran pemilihan kepala daerah (pilkada) Surabaya agar ikut menjaga independensi pers,” ujarnya, Selasa (29/9/2015).
Prasto menjelaskan, independensi pers merupakan marwah demokrasi. Dia melihat pengalaman Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 harus menjadi pembelajaran. “Pers hancur di titik paling rendah karena terlibat dukung mendukung paslon. Pers menjadi kehilangan marwahnya dan akibatnya rakyat tidak percaya pada pers,” ucapnya.
Seruan terkait gelaran pilkada di Kota Pahlawan yaitu, AJI Surabaya menolak segala bentuk penyensoran, pemaksaan dan penggiringan materi dan sudut pandang jurnalis dalam menulis. Prasto menegaskan, intervensi dari pihak manapun terhadap kerja jurnalis dan ruang redaksi mencederai kemerdekaan pers dan demokrasi.
Kedua, Aji Surabaya paslon dan timnya tidak menjalin kerja sama dengan media massa tertentu yang melanggar UU Nomor 40/1999 tentang Pers. Misalnya, menggunakan perusahaan media atau jurnalis sebagai corong sehingga pemberitaan menjadi tidak berimbang dan subjektif. “Selanjutnya, tidak melibatkan jurnalis aktif sebagai tim sukses baik yang masuk struktur maupun yang tidak. Pelibatan jurnalis sebagai tim sukseas paslon tertentu, jelas melanggar UU Nomor 40/1999 tentang Pers, Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Prilaku Jurnalistik yang disusun Dewan Pers,” ujar Prasto.
AJI Surabaya juga meminta semua pihak yang terlibat dalam pilkada tidak memberi suap, imbalan, janji dan atau fasilitas lain kepada jurnalis peliput, redaktur, editor sampai level teratas dalam sebuah struktur keredaksian. Prasto mengatakan, AJI paling sering mendapatkan aduan terkait imbalan terhadap jurnalis ini.
Kode Etik
Dia menjabarkan, pemberian suap dalam bentuk apa pun, melanggar UU Nomor 40/1999 tentang Pers, Pasal 7 (2) yang berbunyi Wartawan memiliki dan mentaati Kode Etik Jurnalistik, Kode Etik Jurnalistik , Pasal 6: Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Dia menyayangkan, masih ada wartawan yang menerima imbalan dari nara sumber.
“Saya pikir aneh juga kalau ada jurnalis mau terima suap atau imbalan. Jurnalis itu terikat kode etik. Kita dinamakan jurnalis karena kode etik dan perilaku itu. Kalau kita tidak menjalankan kode etik tersebut, apa pantas disebut jurnalis sekali pun dia bekerja di perusahaan media besar?” kritiknya.
Terakhir, dia mengimbau agar perusahaan media dan paslon mentaati aturan terkait iklan yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan umum (KPU) RI. Organsasi yang bergerak di bidang advokasi dan pengembangan integritas jurnalis itu menolak adanya intervensi terhadap jurnalis dan ruang redaksi dengan modus pemasangan iklan atau kerja sama lainnya.
Prasto menyadari seruan ini tidaklah ada artinya bila masih ada wartawan yang menyalahgunakan profesinya. Meski begitu, dia berharap paslon sekaligus timnya turut serta memberikan proteksi bagi independensi pers dengan cara menaati seruan AJI. Organisasi profesi ini sebelumnya telah deklarasi independensi jurnalis di Malang pada awal September lalu.