Aktivitas Jurnalistik Jangan Dikriminalisasi

Dandhy Dwi Laksono ketika mengomentari tanggapan peserta diskusi (Foto: Robert Mentor)

Undang-undang telah menegaskan bahwa kebebasan berpendapat dan berbicara (freedom of speech) dijamin oleh negara. Demikian pula dalam konteks pers nasional yang dilindungi oleh UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

Namun adanya jaminan dari negara, tidak serta merta menjamin setiap orang bebas untuk menyatakan pendapatnya di muka umum. Buktinya, masih ada sejumlah orang yang dikriminalisasi, diseret ke muka hukum karena kritik, keluhan, dan opininya di berbagai media, termasuk media sosial. Tak terkecuali beberapa dari mereka yang selama ini disebut sebagai citizen journalist atau jurnalis warga.

Berangkat dari keprihatinan itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Surabaya bekerjasama dengan Klub Jurnalistik dan Center of uman Rights Law Studies Fakultas Hukum Universitas AIrlangga, menggelar diskusi bertajuk Journalism is not a Crime, Kamis (19/10/2017).

Diskusi yang digelar di Aula Pancasila Fakultas Hukum Universitas Airlangga itu mendatangkan tiga narasumber. Ketiganya adalah Dandhy Dwi Laksono, DR Herlambang P Wiratama SH, MA, serta Prof DR Henry Subiakto SH MSi.

Dandhy, pendiri WatchDoc sekaligus jurnalis senior yang belum lama ini dilaporkan ke Polda Jatim oleh organisasi sayap salah satu parpol karena tulisan opininya di media sosial, mengatakan bahwa kebebasan berpendapat di Indonesia belum mendapat perlindungan yang maksimal.

“Warga secara umum, sebagai bagian dari ekosistem demokrasi, tidak terlindungi kebebasan berpendapatnya. Padahal mereka tidak memiliki kekuatan dan kemewahan seperti yang dimiliki media massa. Misalnya, tidak punya corporate lawyer, tidak punya dewan pers yang jadi pusat penyelesaian sengketa, dan tidak dilindungi oleh UU Pers,” papar Dandhy.

“Karena medium yang paling banyak dipakai warga adalah media digital, lalu mereka dilaporkan menggunakan pasal UU ITE oleh orang atau kelompok yang tidak menyukai apa yang mereka sampaikan. Padahal yang mereka sampaikan, sudah melalui cara-cara kerja jurnalistik. Intinya, jurnalisme memang terancam. Tetapi yang lebih terancam adalah mereka yang tidak terlindungi,” sambungnya.

Suasana diskusi (foto: Robert Mentor)
Suasana diskusi (foto: Robert Mentor)

Sementara itu, Herlambang, ahli pers Dewan Pers menyebutkan bahwa pidana pers tidak tepat diterapkan untuk kegiatan-kegiatan jurnalistik. Apalagi menurutnya, di Indonesia pemidanaan terhadap pers seringkali dijadikan alat untuk keperluan kekuasaan.

“Sedangkan setelah reformasi, pemidanaan terhadap pers cenderung didorong oleh motif balas dendam. Bukan untuk kebebasan pers,” kata Herlambang.

Menurut pakar hukum media ini, penyelesaian sengketa pers melalui Dewan Pers sudah sangat ideal. Kecuali apabila di dalam sebuah kasus, terdapat indikasi pidana.

“Jadi kalau berkaitan dengan kode etik ya ke Dewan Pers. Tetapi kalau di dalamnya ada tindakan-tindakan seperti pemerasan, maka harus dipidanakan,” ujarnya.

Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Indormasi, Prof DR Henry Subiakto SH MSi menegaskan bahwa kehadiran UU ITE yang baru direvisi pada 2016 lalu, telah menjamin kebebasan berpendapat bagi seluruh warga negara. Dia juga menegaskan, UU ITE tidak berlaku untuk produk-produk jurnalistik yang dihasilkan oleh media-media massa berbadan hukum yang jelas identitas dan perizinannya.

Dijelaskannya, UU ITE adalah ekstensifikasi dari norma-norma yang berlaku di realitas fisik. Dia mencontohkan, apabila negara melarang pencurian, maka pencurian yang dilakukan di media digital juga harus dilarang.

“UU ITE berasumsi bahwa kehidupan di masa mendatang akan banyak berlangsung di lingkungan digital. Karena itu, di dalamnya juga harus ada peraturan. Misalnya, kalau sehari-hari kita dilarang memfitnah dan menghujat, maka di internet dan media sosial pun juga tidak boleh,” tuturnya.

“Intinya, kita masih bebas kok. Boleh mengkritik, tetapi hati-hati, jangan menyebarkan kebencian yang dasarnya SARA karena diatur oleh KUHP, “ pungkasnya.

Ketua AJI Surabaya, M Miftah Faridl, menyebutkan bahwa diskusi yang dihadiri puluhan peserta dari berbagai elemen itu adalah respon terhadap kian maraknya kriminalisasi terhadap kegiatan-kegiatan pers, khususnya di Jawa Timur.

“Di Jawa Timur saja, belum lama ini sudah ada 2 pekerja pers yang dilaporkan ke polisi dengan menggunakan UU ITE, padahal yang mereka lakukan masih masuk dalam ranah kegiatan jurnalistik.,” katanya.

Menurut Farid, diskusi ini bertujuan untuk membangun kesadaran masyarakat dan menegaskan ulang bahwa demokrasi dan kebebasan berpendapat tidak akan tegak selama kegiatan-kegiatan jurnalistik diancam dengan menggunakan pemidanaan.