Wartawan Meliput Ilmu Pengetahuan

Pada era digital, informasi membanjir setiap waktu. Bagi masyarakat, bisa jadi menguntungkan sekaligus justru membutakan. Sementara bagi wartawan, bisa diartikan sebagai kemudahan dalam mencari referensi tetapi sekaligus menjadi petaka bila tidak bisa memilah sumber yang bisa dipertanggungjawabkan. Tak terkecuali, pemberitaan soal sains.

Peserta News Room Perspective on Science Journalism, Jakarta, 22/04/2017. Foto: dok. AJI Indonesia
Peserta News Room Perspective on Science Journalism, Jakarta, 22/04/2017. Foto: dok. AJI Indonesia

Sebagaimana liputan bidang khusus lainnya, wartawan sains harus punya bekal pengetahuan tentang apa yang akan ditulisnya. Selain tentu saja, standar proses kerja jurnalistik harus ditaati sehingga wartawan bisa memilah fakta ilmu pengetahuan dan fakta semu yang seolah-olah berdasarkan ilmu pengetahuan (pseudoscience) agar tak menyesatkan pembaca. Peran media dan jurnalis sangat dibutuhkan. Hal ini juga terkait dengan salah satu fungsi pers menurut Undang-Undang Pers No.40 Tahun 1999, yaitu sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Selain mendistribusikan hasil inovasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, media juga diharapkan mampu mendorong kebijakan yang lebih baik.

Untuk meningkatkan kapasitas jurnalis dan kualitas jurnalisme terutama dengan pendekatan ilmu pengetahuan, AJI(Aliansi Jurnalis Independen) Surabaya menghadiri News Room Perspective on Science Journalism yang diadakan oleh AJI Indonesia dan British Council pada 22 Maret 2017 di Jakarta. Hadir sebagai pembicara, Harry Surjadi ( Society of Indonesian Science Journalist) dan Jito Soegardjito, Phd ( Center for Sustainable Energy and Resources Management) dan dihadiri oleh 25 peserta . 5 di antaranya utusan dari AJI Surabaya, AJI Yogyakarta, AJI Banda Aceh, AJI Makassar dan AJI Pontianak  selebihnya dari Jakarta

Harry Surjadi, Society of Indonesian Science Journalist. Foto: Prasto Wardoyo
Harry Surjadi, Society of Indonesian Science Journalist. Foto: Prasto Wardoyo

Menurut Harry, menjadi jurnalis sains mensyaratkan 80% good journalist, artinya menjalankan prosedur jurnalistik termasuk soal skeptis dan cover both side. Ditambah 20% belajar untuk mengkomunikasikan sains dengan bahasa yang sesuai dengan target pembacanya. Kemampuan jurnalis sains dalam membahasakan ilmu pengetahuan dari meja ilmuwan ke masyarakat mensyaratkan jurnalis untuk mengetahui persis istilah sains dan permasalahan yang akan diberitakan. Sehingga tidak akan terjadi, sebagaimana Harry mencontohkan, kesalahan tulis nama ilmiah antara spesies titan arum (Amorphophallus titanum) dan Rafflesia arnoldii meski sama-sama dinamai bunga bangkai karena berbau busuk. Harry menambahkan, seorang wartawan sains harus kritis, akurat, dan berdasarkan fakta.

Jito Soegardjito, Phd., Center for Sustainable Energy and Resources Management. Foto: Prasto Wardoyo
Jito Soegardjito, Phd., Center for Sustainable Energy and Resources Management.
Foto: Prasto Wardoyo

Di sisi lain, Jito Soegardjito menyayangkan tentang rendahnya publikasi ilmiah dari para ilmuwan Indonesia. Juga soal rendahnya penelitan yang berhasil dipatenkan masih di bawah Singapura, Thailand, Filipina, dan Malaysia. Padahal Indonesia merupakan “laboratorium” alam yang menyediakan bahan penelitian sangat banyak, mulai keragaman hayati hingga geotermal.

Penyebabnya, menurut Jito, antara lain disebabkan rendahnya prioritas pemerintah di bidang penelitian dan juga penghargaan terhadap peneliti. Termasuk birokrasi dan pendanaan yang masih menjadi kendala. Data AJI Indonesia, hal ini bisa terlihat dalam komposisi anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk ilmu pengetahuan dan teknologi, yaitu 0,09% dari anggaran nasional. Idealnya dibutuhkan setidaknya 2% dari anggaran nasional untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Distribusi informasi hasil penelitian ilmu pengetahuan juga masih terkendala. Kementrian Lingkungan Hidup RI mencatat ada sekitar 100 dokumentasi hasil inovasi ilmuwan Indonesia yang belum terdiseminasi. Di sinilah wartawan sains bertugas untuk mendiseminasi penelitian tersebut, yakni menyebarkan informasi dengan akurat sehingga menyadarkan masyarakat untuk menerima dan akhirnya memanfaatkan teknologi tersebut (Prasto Wardoyo).